SANG MEGATANTRA : JILID-01
Bulan Purnama memancarkan cahayanya yang gilang-gemilang. Bulan purnama kalangan (ada garis bundar mengelilinginya). Kata para pinisepuh, bulan purnama kalangan seperti itu merupakan pertanda bahwa akan terjadi sesuatu yang amat penting.
Pantai segara laut kidul itu putih berkilauan tertimpa sinar bulan. Pasir putih yang bersih halus terhampar luas. Lautan kelihatan tenang. Ombak kecil yang menipis hanya sempat menjilat tepi pantai. Suara air laut yang biasanya menggelora sekarang hanya terdengar berbisik-bisik lembut.
Tebing-tebing terjal disebelah barat seakan-akan merupakan bendungan untuk mencegah lautan membanjir ke darat. Perbukitan batu karang dan kapur itu tampak laksana raksasa-raksasa yang berdiri dengan kokoh kuat melakukan penjagaan.
Sunyi senyap, yang terdengar hanya desah air laut dan yang tampak hanya buih-buih air diatas ombak-ombak kecil yang beriringan menuju pantai. Akan tetapi semua itu menjadi bagian tak terpisahkan dari keheningan yang khidmat itu. Tiada awan di langit. Kenyataan itu suci dan agung.
Tidak ada indah atau buruk. Yang ada hanya kenyataan. Indah atau buruk baru muncul setelah ada penilaian dan penilaian inilah yang mendatangkan pertentangan.
Bau keharuman dupa dan kemenyan yang datang dari dusun Karang Tirta yang berada tidak jauh dari pantai Pasir Putih iru mengingatkan bahwa malam itu adalah malam Jumat Kliwon, malam yang bagi para penduduk dusun itu dianggap sebagai malam keramat yang menakutkan karena menurut kepercayaan mereka pada malam itu semua lelembut, siluman, setan dan segala macam iblis keluar dan keluyuran, gentayangan di permukaan bumi mencari korban!. Segala macam wewe gombel, brekasakan, kuntilanak, banaspati, tetakan dan tuyul keluar untuk mencari mangsa. Karena itu orang-orang membakar dupa dan kemenyan untuk dihidangkan kepada mereka agar setelah menghirup keharuman itu mereka menjadi puas dan tidak mengganggu si penyuguh asap yang harum itu.
Di jajaran tebing terjal yang berada di sebelah barat pantai pasir putih itu terdapat sebuah goa yang luasnya sekitar tiga meter persegi dan luarnya sekitar dua meter lebih. Di tengah goa itu nampak seorang pria duduk bagaikan sebuah arca. Dia duduk dengan kedua kaki bersilang diatas paha, kedua lengannya juga bersilang dan sepasang matanya terpejam. Duduknya tegak lurus. Agaknya pria ini sedang bersemedhi.
Usianya sekitar enam puluh tahun. Rambutnya sudah berwarna dua disanggul keatas dan tusuk sanggulnya sangat sederhana terbuat dari bambu. Tubuhnya yang tinggi kurus itu hanya dilindungi sehelai kain hitam yang dilibat-libatkan dari leher hingga ke lutut. Kakinya telanjang.
Seorang kakek yang sederhana sekali. Dari keadaan pakaiannya dan caranya dia duduk bersemedhi dapat diduga dia tentu seorang pendeta atau pertapa. Wajahnya yang kurus itu seolah-olah bercahaya. Alis, kumis dan janggutnya yang menutupi lehernya juga sudah penuh uban. Wajahnya masih membayangkan bekas ketampanan dan di mulutnya selalu tersungging senyum pengertian.
Kakek itu adalah Empu Dewamurti. Dia terkenal sebagai empu ahli pembuat keris pusaka. Juga dia terkenal sebagai seorang sakti mandraguna dan ahli tapabrata yang tekun dan sering kali dia menghabiskan waktu untuk bertapa mendekatkan diri dengan Sang Hyang Widhi untuk memohon petunjuk dan bimbingannya.
Malam itu merupakan malam ketiga dia bertapa di dalam goa di tepi segara kidul. Empu Dewamurti adalah empu yang terkenal di jaman Kerajaan Kahuripan yang diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Anantawikrama Utunggadewa atau yang lebih mudah diingat dengan sebutan Raja Erlangga.
Tiba-tiba saja Empu Dewamurti seperti tergugah dari semedhinya. Pendengarannya yang tajam menangkap jerit suara wanita dan teriakan pria yang datangnya dari hamparan pasir putih. Jika saja suara lain yang mengganggunya, tentu dia tidak mau mengacuhkan. Tapi dalam jeritan dan teriakan tadi dia menanggkap suara yang ketakutan dan mengharapkan pertolongan.
Empu Dewamurti adalah seorang yang sejak muda berwatak ksatria, tak pernah menolak untuk mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Maka dia jadi sadar sepenuhnya dan dia segera bangkit dan keluar dari dalam goa. Di bawah sinar bulan purnama dia dapat melihat adanya dua bayangan orang yang masing-masing memanggul tubuh seorang yang meronta-ronta muncul di pantai pasir putih itu.
Empu Dewamurti lalu melompat dan berlari cepat menuju kesana. Larinya cepat sekali walau pun kedua kaki yang telanjang itu nampaknya seperti melangkah seenaknya. Kecepatannya terbukti dari berkibarnya kain yang melibat-libat tubuhnya dari leher sampai ke lutut. Sebentar saja dia sudah berhadapan dengan dua orang itu.
Ternyata mereka adalah seorang wanita dan seorang laki-laki. Laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam dan mukanya penuh brewok, rambutnya hitam panjang dibiarkan berjuntai di belakang kepalanya, hanya diikat kain merah. Pakaiannya serba mewah, seperti pakaian seorang bangsawan. Di pinggangnya terselip sebatang pecut (cambuk) bergagang gading dan ujung pecut yang panjang itu digulung dan digantung di pinggang. Wajahnya kasar dan bengis.
Ada pun orang kedua adalah seorang seorang wanita yang sukar ditaksir usianya karena ia masih nampak cantik jelita dan genit seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun saja. Mukanya yang sudah cantik itu dirias dengan bedak dan pemerah pipi dan bibir seperti riasan muka waranggana yang hendak bertembang dan berjoged. Pakaiannya mewah sekali, dengan gelang emas pada pegelangan tangan dan kaki. Di pinggang yang ramping itu tergantung sebatang pedang dengan sarungnya yang terukir indah. Wanita itu sungguh cantik menarik, terutama sekali matanya yang bersinar tajam dan senyumnya yang semanis madu.
Melihat dua orang ini, Empu Dewamurti diam-diam terkejut dan dia memperhatikan orang-orang yang berada dalam pondongan mereka itu. Laki-laki tinggi besar itu memanggul tubuh seorang gadis remaja yang usianya tiga belas tahun. Sanggul rambut gadis itu terlepas dan rambutnya yang panjang itu terurai kebawah. Ia kini tidak mampu bergerak atau menjerit lagi, agaknya sudah dibuat pingsan oleh laki-laki yang memanggulnya. Wanita cantik itu juga memanggul seseorang dan ketika Empu Dewamurti mengamati, ternyata yang dipanggulnya itu seorang pemuda remaja berusia sekitar lima belas tahun. Pemuda remaja ini sama eloknya dengan gadis remaja itu, dan dia juga kini diam saja dan lemas seperti orang pingsan atau tidur.
“Jagat Dewa Bhatara!, kiranya andika Resi Bajrasakti dari Kerajaan Wengker dan Nyi Dewi Durgakumala dari kerjaan Wurawari!, Apa kehendak andika berdua muncul di pantai Segara Kidul wilayah Kahuripan ini dan siapa pula anak-anak remaja yang andika tawan itu?” tegur Empu Dewamurti sambil mengamati mereka berdua dengan sinar mata tajam menyelidik.
“Ha-ha-ha-ha!” Laki-laki tinggi besar yang bernama Resi Bajrasakti itu tertawa bergelak-gelak sehingga seluruh tubuhnya berguncang. “Tak kusangka di sini aku bertemu dengan Empu Dewamurti, pandai besi tukang membuat pacul, arit dan pisau dapur!” Dia tertawa lagi, merasa geli dengan gurauannya sendiri yang memperolok-olok Empu Dewamurti sebagai ahli pembuat keris pusaka.
“Hik-hik-hik, Empu Dewamurti. Senang hatiku bertemu denganmu. Aku hendak memesan sepasang gelang kaki perak, dapatkah engkau membuatkannya untukku?” Wanita cantik pesolek yang bernama Nyi Durgakumala itu tertawa dan ucapannya tadi pun bermaksud menghina Empu Dewamurti.
Kalau Resi Bajrasakti merupakan Datuk Kerajaan Wengker yang sakti mandraguna, Nyi Dewi Durgakumala yang sesungguhnya telah berusia empat puluh lima tahun itu adalah seorang tokoh besar Kerajaan Wurawari dan menjadi kepercayaan Raja.
Pada saat itu, tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang berlari menuju ke pantai itu. Dari jauh dia melihat Empu Dewamurti dan dia berteriak. “Eyang Empu Dewamurti..!”
Tiga orang sakti itu memandang dan Empu Dewamurti segera mengenal pemuda remaja berusia sekitar enam belas tahun yang berpakaian sederhana seperti seorang petani biasa. Dia memandang wajah yang cerah itu dengan alis berkerut. Pemuda itupun kini baru tahu bahwa di situ terdapat dua orang asing yang masing-masing memanggul seorang gadis remaja dan seorang pemuda. Maka dia lalu berkata gugup. “Maafkan saya, eyang, saya tidak tahu bahwa eyang sedang sibuk. Saya hanya menyerahkan ini. Saya temukan keris ini ketika sore tadi saya menggali kebun...” Pemuda itu membuka sebuah buntalan kuning dan terkejutlah tiga orang sakti itu ketika melihat sebatang keris yang mengeluarkan sinar kilat ketika tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba Nyi Dewi Durgakumala berseru dengan melengking nyaring, “Serahkan keris itu kepadaku!” Dalam suaranya terkandung pengaruh yang demikian kuat sehingga mau tidak mau pemuda petani itu mengulurkan kedua tangan yang membawa keris itu kepada wanita itu.
“Tidak! Berikan kepadaku!” terdengar bentakan lantang yang keluar dari mulut Resi Bajrasakti.
Teriakan ini pun mengandung pengaruh yang kuat bukan kepalang, sehingga pemuda itu membalikkan tubuhnya hendak menyerahkan kerisnya kepada Resi Bajrasakti. Akan tetapi ketika datuk dari kerjaan wengker yang tinggi besar itu menjulurkan tangannya hendak mengambil keris, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tangan Nyi Dewi Durgakumala sudah menangkisnya. Ketika kedua orang ini sedang bersitegang, tubuh Empu Dewamurti melayang ke arah pemuda itu. Dia berdiri membelakangi pemuda itu dan berkata. “Nurseta, cepat engkau duduk bersandar batu dibelakangku!”
Pemuda yang bernama Nurseta itu terbebas dari pengaruh suara dua orang yang hendak memaksa dia menyerahkan keris. Dia lalu duduk bersila di dekat batukarang yang berada di belakang Empu Dewamurti dengan hati yang berdebar tegang karena dia dapat merasakan bahwa dua orang asing itu tentu bukan orang baik-baik. Buktinya mereka agaknya menguasai gadis dan pemuda yang mereka panggul.
“Resi Bajrasakti dan Nyi Dewi Durgakumala! Kalian berdua adalah orang-orang asing yang menjadi tamu di sini. Harap kalian tidak membuat gara-gara!”
“Empu Dewamurti, keris itu harus menjadi milikku!” teriak Nyi Dewi Durgakumala sambil menuding telunjuk kanannya ke arah Nurseta.
“Tidak, harus diberikan kepadaku!” bentak Resi Bajrasakti.
“kalau tidak, akan kurampas dengan kekerasan!”
“Babo-babo, Resi Bajrasakti, Apa kau kira aku ini patung hidup? Engkau tidak akan dapat merampasnya selama aku masih berada di sini!” teriak Nyi Dewi Durgakumala.
Melihat dua orang itu agaknya saling berebut sendiri, Empu Dewamurti tersenyum.
“Sadhu... Sadhu... Sadhu..! Resi Bajrasakti dan Nyi Dewi Durgakumala, ketahuilah bahwa keris itu ditemukan di tanah yang menjadi wilayah kahuripan, oleh karena itu menjadi hak milik Kerajaan Kahuripan. Selain dari pada itu, agaknya andika berdua tidak mengenal pusaka itu. Sekali pandang saja aku telah mengenalnya. Keris pusaka itu adalah Sang Megatantra dan pusaka dibuat oleh mendiang Empu Bramakendali di jaman Kerajaan Medang Kamulan yang menjadi nenek moyang Kerajaan Kahuripan. Oleh karena itu, kalian berdua dari Kerajaan Wengker dan Wurawari sama sekali tak berhak memilikinya. Selain itu, muda-mudi yang kalian culik itu tentu kawula Kahuripan, maka bebaskanlah mereka dan pulanglah kalian ke tempat kalian masing-masing dengan damai”.
“Babo-babo, empu keparat! Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih kuat, dia yang berhak memiliki Keris Pusaka Sang Megatantra!” bentak Resi Bajrasakti.
“Sang Resi, keris pusaka merupakan hak milik Kerajaan Kahuripan, tidak mungkin diperebutkan. Kalau andika memperebutkannya, berarti andika hendak merampok.”
“Heh, Empu konyol! Apakah engkau tidak tahu akan hokum alam bahwa siapa yang menang, dia berkuasa? Engkau hendak menentang hukum alam?”
“Resi Bajrasakti, wawasanmu itu salah sama sekali. Hukum alam adalah hukum sebab akibat yang seadil-adilnya. Hukummu tadi bukan hukum alam, melainkan hukum yang dibuat manusia sesat yang diperbudak nafsu. Nafsu selalu ingin menang dan kalau menang dia harus berkuasa dan yang berkuasa selalu harus benar! Yang berkuasa menindas yang lemahpun dibenarkan oleh nafsu angkara murka.” kata Empu Dewamurti dengan sikap tenang.
“Jangan banyak cerewet, Empu Dewamurti! Serahkan Keris Megatantra itu kepadaku atau aku akan menggunakan kekerasan!” bentak Nyi Dewi Durgakumala.
“Jagat Dewa Bhatara! Manusia diciptakan hidup di permukaan ini memang diberi wewenang untuk memilih, apakah dia ingin menjadi alat iblis ataukah ingin menjadi alat Sang Hyang Widhi, membela kebenaran dan menentang kejahatan. Terserah kepada kalian berdua.”
Resi Bajrasakti lalu melangkah belasan tindak dan menurunkan gadis remaja yang dipanggulnya. “Bocah ayu, engkau berdiamlah di sini dulu sebentar ya? Nanti setelah kubereskan Empu konyol itu, kupondong lagi dan kita bersenang-senang.”
Gadis remaja itu ketika diturunkan rebah terlentang, agaknya untuk bangkit dudukpun ia tidak kuat. Nyi Dewi Durgakumala tidak mau kalah. Iapun menurunkan pemuda remaja yang tadi dipanggulnya itu agak jauh dari situ. Pemuda itupun rebah terlentang dan tanpa malu-malu Nyi Dewi Durgakumala menciumnya. “Cah bagus, engkau kutinggalkan sebentar!”
Kini Empu Dewamurti berhadapan dengan dua orang datuk itu. Nyi Dewi Durgakumala bersikap cerdik. Ia maklum untuk memperebutkan Keris Pusaka Megatantra, ia harus dapat mengalahkan dua orang lawan yang tangguh. Sebetulnya kedatangan ke wilayah Kahuripan itu, seperti juga Resi Bajrasakti adalah untuk melaksanakan tugas masing-masing yang diperintahkan raja mereka, yaitu untuk melakukan penyelidikan terhadap kerajaan Kahuripan dan kalau ada kesempatan menimbulkan kekacauan di kerajaan musuh itu. Karena keduanya memang saling mengenal sejak dahulu, maka ketika saling berjumpa, segera terjalin hubungan akrab dan mesra antara mereka.
Akan tetapi dua orang manusia cabul yang menjadi hamba nafsu mereka sendiri itu sebentar saja sudah merasa bosan dan malam itu mereka masing-masing menculik seorang gadis dan pemuda remaja untuk menyalurkan gairah nafsu mereka yang kotor. Kebetulan sekali mereka menculik dua orang muda remaja dari dusun Karang Tirta pula dan ketika mereka membawa korban calon mangsa mereka ke pantai pasir putih untuk bersenang-senang melampiaskan nafsu disana, Empu Dewamurti memergoki mereka. Kebetulan pula Nurseta, pemuda petani dari Dusun Karang Tirta pula, datang untuk menyerahkan penemuannya kepada Empu Dewamurti yang dikenalnya sehingga kini yang menjadi persoalan bukan hanya orang-orang muda yang diculik, melainkan perebutan Keris Megatantra. Nyi Dewi Durgakumala sengaja diam saja dan membiarkan Resi Bajrasakti untuk lebih dulu bertanding melawan Empu Dewamurti agar ia memperoleh kesempatan yang dapat menguntungkannya.
Resi Bajrasakti juga ingin secepatnya merobohkan Empu Dewamurti yang merupakan penghalang pertama. Setelah empu ini roboh, baru dia akan menghadapi Nyi Dewi Durgakumala yang mungkin akan diajaknya berdamai demi keuntungan mereka berdua. Hal ini akan dipikirkan nanti saja setelah dia berhasil mengalahkan Empu Dewamurti. Kini dia berkemak-kemik membaca mantera, mengerahkan tenaga sihirnya, kemudian cepat dia membungkuk dan mengambil segenggam pasir lalu melontarkannya ke atas sambil berseru lantang. “Bramara Sewu (Seribu Lebah)!”
Pasir yang dilontarkan itu tiba-tiba menjadi asap dan asap itu berubah pula menjadi lebah banyak sekali. Lebah-lebah itu beterbangan menyerbu Empu Dewamurti sambil mengeluarkan bunyi mendengung. Akan tetapi Empu Dewamurti tadi meniru perbuatan lawan mengambil segenggam pasir putih dan melihat banyak lebah yang menyerangnya, dia lalu menyabitkan segenggam pasir putih itu sambil membentak, “Asal pasir kembali menjadi pasir!”
“Wuuuttt... blar..!”
Ketika rombongan lebah itu dihantam pasir yang disambitkan Empu Dewamurti, terdengar ledakan, asap mengepul dan pasir berhamburan ke bawah. Lebah=lebah itupin lenyap.
“Jahanam!” Resi Bajrasakti berteriak memaki, lalu dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Empu Dewamurti maklum bahwa lawan akan menyerangnya dengan ilmu lain. Dia sudah tahu bahwa Resi Bajrasakti terkenal sakti mandraguna, ahli sihir dan memiliki banyak aji yang berbahaya. Ketika Datuk dari Wengker itu merasa betapa tenaga saktinya telah terpusat di kedua tangannya, dia lalu melakukan pukulan mendorong ke arah Empu Dewamurti sambil membentak nyaring.
“Aji Sihung Naga..!” pukalan sakti ini dahsyat bukan main. Terdengar suara bercuitan dan getaran amat kuat menerjang ke arah Empu Dewamurti. Kakek ini sudah siap. Kedua tangannya merangkap menjadi sembah sujud di atas dahinya, kemudian kedua tangan itu dari situ dikembangkan dan dengan telapak tangan terbuka menyambut dorongan lawan.
“Syuuuuttt... desss..!”
Tubuh Empu Dewamurt i bergoyang-goyang, akan tetapi Resi Bajrasakti terdorong ke belakang sampai terhuyung dan hampir roboh. Resi Bajrasakti menjadi semakin marah dan penasaran. Dia segera melompat ke depan dan mencabut cemeti (cambuk) yang tergulung dan terselip di p inggangnya. Inilah Pecut Tatit Geni (Halilintar Api) yang sudah amat terkenal dan ditakuti lawan karena Resi Bajrasakti sudah marah sekali dan bahwa dia menganggap lawannya terlalu tangguh sehingga terpaksa dia menggunakan senjata pamungkas itu.
“Tar-tar-tarrr..!” Begitu cambuk itu digerakkan, ujungnya yang panjang meluncur ke atas dan mengeluarkan bunyi ledakan-ledakan nyaring dan mengeluarkan asap dari bunga api yang berpijar di ujung cambuk. Hebat bukan main cambuk ini! Empu Dewamurti memutar tubuh menghadap tebing dimana terdapat goa yang untuk sementara waktu menjadi tempat tinggalnya. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali dan tampak sinar meluncur dari dalam goa ke arah tangannya dan ketika Empu Dewamurti menggunakan tangan kanannya menangkap, ternyata sebatang tongkat Pring Gading (Bambu Kuning) telah berada di tangannya! Ini merupakan satu diantara kesaktian sang Empu, yaitu menguasai senjatanya yang hanya sebatang tongkat bambu kuning namun ampuhnya mengiriskan dia mampu “memanggil” dari jauh.
“Resi Bajrasakti, sekali lagi aku peringatkan andika. Bebaskan gadis remaja itu dan pulanglah ke tempat asalmu. Aku tidak ingin bermusuhan secara pribadi denganmu!”.
Melihat cara Empu Dewamutri menguasai senjatanya tadi, hati Resi Bajrasakti menjadi gentar juga, akan tetapi dasar orang yang terbiasa diagungkan dan disanjung sehingga dia merasa diri sendiri paling hebat, mana dia mau mengalah begitu saja!. Dia lalu mengerahkan kekuatan sihirnya dan seketika tempat itu diselimuti semacam halimun yang membuat malam terang bulan purnama menjadi berkabut. Diapun menerjang setelah aji panglimunan berhasil baik.
“Tar-tar-tarrr..!” Pecut Tatit Geni meledak-ledak, mengeluarkan pijaran api dan menyambar-nyambar ke arah kepala Empu Dewamurti. Namun dengan tenang sang Empu menangkis dengan tongkat bambu kuningnya dan kedua orang sakti itu segera bertanding dengan serunya.
Nyi Dewi Durgakumala juga menonton dengan penuh perhatian. Harus dia akui bahwa empu itu memang sakti mandraguna dan dia merasa sangsi apakah dia akan mampu mengalahkan Empu Dewamurti.
Karena tak ada yang memperhatikan, dan menggunakan kesempatan selagi cuaca diliputi kabut, diam-diam Nurseta menghampiri gadis remaja yang berada paling dekat dengan dirinya. Dia tentu saja mengenal anak perempuan itu yang memang tinggal sedusun dengannya, yaitu di Dusun Karang Tirta.
Sambil memegang Keris Pusaka Megatantra dengan tangan kanan, Nurseta kemudian mengguncang pundak anak perempuan itu yang bernama Puspa Dewi. “Dewi..., Dewi..., bangunlah..!” katanya sambil mengguncang pundak anak perempuan itu.
Puspa Dewi membuka mata dan seolah baru terbangun dari tidurnya. Padahal ia tadi dalam keadaan tak berdaya oleh pengaruh sihir. Di luar pengetahuan dua orang anak itu Puspa Dewi dapat terbebas dari pengaruh sihir karena keampuhan Keris Pusaka Megatantra yang dibawa Nurseta!.
“Apa... apa yang terjadi? Ah, engkau Kakang Nurseta..! Apa yang terjadi? Tadi... kakek yang jahat itu...”
“Stttt, lihat dia sedang bertanding melawan Eyang Empu Dewamurti. Diam saja di sini, aku hendak melihat pemuda di sana itu.” Nurseta meninggalkan Puspa Dewi dan berlari dalam kabut dan menghampiri pemuda remaja yang dipanggul Nyi Dewi Durgakumala. Setelah dekat dia berjongkok dan kini tahulah dia bahwa pemuda remaja itu adalah Linggajaya, putera kepala dusun Karang Tirta yang terkenal sombong karena merasa dia putera kepala dusun Karang Tirta yang berkuasa, kaya raya dan juga memiliki wajah tampan.
Sebetulnya Nurseta tidak begitu suka kepada pemuda sombong ini, bahkan dia sering kali sebagai seorang pemuda yatim piatu mendapat ejekan dan olok-olok dari Linggajaya. Akan tetapi kini melihat keadaan pemuda itu, dia merasa iba dan seperti tadi ketika menggugah Puspa Dewi, kini diapun mengguncang pundak Linggajaya dengan tangan kirinya.
“Jaya..., Linggajaya... bangunlah..!” Kembali keampuhan keris pusaka Megatantra bekerja dan seketika pemuda putera lurah itu terbebas dari pengaruh sihir Nyi Dewi Durgakumala atas dirinya. Dia terbangun menggosok-gosok kedua mata dengan tangan karena keremangan kabut membuat penglihatannya tidak begitu terang. Akhirnya dia melihat wajah Nurseta dan dia bangkit duduk.
“Eh, engkau ini Nurseta? Mau apa engkau di sini? Ah ya, apa yang terjadi? Dimana wanita cantik yang membawa lari aku tadi ? »
“Ssttt... jangan berisik Jaya. Mereka sedang bertempur. Sebaiknya mari cepat ajak Puspa Dewi lari dari sini.” Bisik Nurseta.
Linggajaya bangkit berdiri. “Puspa Dewi? Di mana dia? Mengapa pula ia ada di sini?”
“Iapun diculik orang. Mari kita ajak ia lari.” kata Nurseta dan mereka pergi menghampiri Puspa Dewi.
Puspa Dewi adalah Gadis remaja yang amat cantik dan hampir semua pemuda remaja di Karang Tirta gandrung kepadanya, termasuk Linggajaya. Setelah bertemu dengan Puspa Dewi, Linggajaya lalu memegang tangan anak perempuan itu dan ditariknya, diajak lari dari tempat itu.
“Puspa Dewi, hayo cepat kita lari pulang!” katanya sambil menarik tangan anak perempuan itu.
Karena ketakutan terhadap kakek yang menculiknya tadi, Puspa Dewi menurut saja dan keduanya lari meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan Nurseta lagi. Pemuda ini hanya berdiri memandang. Dia tidak perlu berlari, bahkan dia harus berlindung kepada Empu Dewamurti yang sedang bertanding melawan kakek tinggi besar itu. Akan tetapi sekarang dia melihat Empu Dewamurti bahkan dikeroyok olek dua orang penculik itu. Teringat akan pesan Empu Dewamurti, Nurseta lalu menyelinap dan duduk lagi di dekat batu karang. Kini dengan penuh perhatian dia menonton pertarungan itu.
Anehnya, kabut yang tadi menyelimuti temmpat itu sudah menipis dan cahaya bulan purnama tampak berseri lagi. Tadi pertandingan antara Resi Bajrasakti dan Empu Dewamurti berlangsung tak seimbang. Betapa pun saktinya Resi Bajrasakti namun ternyata tingkatannya masih berada dibawah tingkat Empu Dewamurti yang memiliki aji-aji yang kuat sekali karena semua ajiannya selalu dipergunakan untuk membela kebenaran. Juga hidupnya selalu penuh dengan keprihatinan, berserah diri dan selalu dekat dengan Sang Hyang Widhi, tidak seperti Resi Bajrasakti yang selalu melakukan kejahatan terdorong oleh nafsu-nafsunya sendiri yang memperbudaknya. Beberapa kali cambuknya terpental membentur tongkat bambu kuning, bahkan sempat terdorong dan terhuyung sehingga dalam waktu singkat saja dia hampir kehabisan tenaga.
Melihat ini, timbul kekhawatiran dalam hati Nyi Dewi Durgakumala. Tingkat kepandaiannya sendiri seimbang dengan tingkat yang dikuasai Resi Bajrasakti. Berarti dia sendiri juga tidak akan mampu menandingi ketangguhan Empu Dewamurti. Lebih baik kalau Empu Dewamurti disingkirkan terlebih dahulu, pikirnya. Ia lalu mencabut Candrasa Langking (Pedang Hitam) yang merupakan senjata pusakanya dan melompat ke depan mengeroyok sang empu.Pedangnya menjadi gulungan sinar hitam yang menerjang kearah Empu Dewamurti.
Setelah dikeroyok dua, Empu Dewamurti merasa kewalahan juga. Bertanding satu lawan satu, dia pasti dapat mengalahkan mereka, akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang digjaya itu, dia harus mengeluarkan aji kesaktian yang lebih tinggi. Tiba-tiba Empu Dewamurti memutar tongkat bambu kuning dengan tangan kanannya. Tongkat itu membentuk gulungan sinar kuning yang melingkar-lingkar, bagai sebuah perisai yang kokoh kuat melindungi dirinya. Kemudian ia mengerahkan tenaga saktinya ke tangan kiri dan dua kali mendorongkan telapak tangan kirinya itu ke arah sua orang pengeroyoknya.
“Hyaaahhh... yaaaahhh..!”
Angin dahsyat menggempur datuk Wengker dan datuk Wurawari itu. Biarpun mereka berdua mencoba bertahan, namun tetap saja mereka terdorong ke belakang dan terhuyung sampai jatuh! Mereka terkejut bukan main dan maklum bahwa lawannya benar-benar sakti mandraguna dan kalau lawannya mempergunakan tangan kejam mungkin mereka berdua takkan mampu bertahan. Apa lagi melihat Nurseta yang menemukan keris pusaka Megatantra berlindung di belakang sang empu. Mereka menjadi putus harapan dan melihat betapa dua orang anak remaja yang mereka culik tadi lenyap, mereka semakin marah dan penasaran lalu mereka melakukan pengejaran, meninggalkan Empu Dewamurti yang berdiri sambil mengatur pernafasan untuk memulihkan tenaganya yang tadi banyak dihamburkan untuk melawan dua orang tangguh itu.
“Hei, ke mana dua orang bocah yang mereka culik tadi?”
Empu Dewamurti baru melihat bahwa dua orang anak itu sudah tidak ada dan dia melihat betul bahwa dua orang datuk tadi melarikan diri tanpa membawa dua orang bocah yang tadi diculiknya.
“Maaf, eyang. Tadi saya menggugah dan menyuruh mereka melarikan diri karena saya merasa kasihan dan khawatir akan keselamatan mereka.”
“Engkau? Menggugah meraka?” Empu Dewamurti merasa heran. Dia dapat menduga bahwa dua orang bocah remaja tadi tentu tidak mampu bergerak atau berteriak karena pengaruh sihir! Bagaimana mungkin anak ini dapat menyadarkan mereka? Akan tetapi dia tiba-tiba teringat akan keris pusaka Megatantra yang berada dalam buntalan kain kuning yang dibawa nurseta dan dia mengangguk-angguk. Mengertilah empu ini bahwa tentu daya kekuatan keris ampuh itu yang memunahkan pengarus sihir atas diri dua orang bocah remaja itu.
“Kenalkah engkau kepada dua orang anak itu?”
Nurseta mengangguk. “Saya mengenal mereka, eyang. Mereka asalah Puspa Dewi dan Linggajaya dari dusun Karang Tirta. Kami sedusun eyang.”
“Dari dusun Karang Tirta? Ah jangan-jangan dua orang sesat itu melakukan pengejaran ke sana. Hayo Nurseta, kita menyusul mereka ke Karang Tirta! Pegang erat-erat tanganku!.”
Nurseta menurut. Tangan kirinya masih mendekap buntalan kuning dan tangan kanannya memegang tangan kiri kakek itu erat-erat. Tiba-tiba Nurseta merasa betapa tubuhnya meluncur seperti terbang dengan cepatnya! Kedua kaki agak terangkat sehingga tidak menginjak tanah lagi. Kiranya kakek itu mengangkat tangannya keatas sehingga tubuhnya agak terangkat dan kakek itu membawanya lari secepat terbang!
Nurseta terbelalak, kagum dan heran. Sudah kurang lebih sebulan dia mengenal Empu Dewamurti, yaitu ketika secara kebetulan dia melewaati goa itu. Dia merasa kasihan kepada kakek yang bertapa itu dan melihat tubuh yang tinggi kurus itu, Nurseta mencari buah-buahan dan menghidangkan kepada Empu Dewamurti. Mereka berkenalan dan sang empu juga kagum melihat pemuda yang budiman itu. Mereka tiba di dusun Karang Tirta dan Nurseta mengajak sang empu lebih dulu mengunjungi rumah Nyi Lasmi, seorang janda berusia tiga puluh satu tahun yang hanya hidup berdua dengan anaknya yaitu Puspa Dewi. Alangkah terkejut dan herannya hati Nurseta ketika dia dan sang empu mendapatkan janda muda itu menangis terisak-isak, dirubung beberapa orang wanita yang menjadi tetangganya.
Ketika Nurseta dan Empu Dewamurti datang, semua orang menatapnya dengan heran. Akan tetapi Nurseta tidak mengacuhkan mereka, langsung dia menghampiri Nyi Randa (Janda) Lasmi dan bertanya, “Bibi Lasmi, apakah Puspa Dewi sudah pulang?”
Mendengar pertanyaan ini Nyi Lasmi menyusut air matanya yang sudah hampir habis dan ia memandang Nurseta dengan mata merah... “Bagaimana engkau ini, Nurseta? Semua orang geger meributkan anakku yang diculik penjahat, engkau malah bertanya apakah dia sudah pulang!”
“Saya sudah tahu, Bibi Lasmi. Malah tadi saya yang menggugah dan menyuruhnya cepat melarikan diri ketika penculiknya sedang bertanding dengan eyang empu ini. Apakah ia belum tiba di sini?”
Semua orang terheran mendengar ini dan Nyi Lasmi menjadi semakin gelisah.....
Komentar
Posting Komentar